Selasa, 21 April 2015

Kuliah Sebuah Jaminankah?
*************
..“Pak sebaiknya saya nanti pada waktu kuliah milih jurusan apa, dikuliah itu jurusan apa yang paling bagus atau antara jurusan ini dan itu prospeknya bagaimana”?..
===========
Itulah pertanyaan paling poluler belakangan ini yg tertuju pada saya dan para guru BK SMA lainnya sehubungan sudah dibukanya penerimaan Mahasiswa Baru lewat jalur SNMPTN Undangan beberapa waktu lalu, mulai dari pengisian PDSS sampai verifikasi pengisian borang on-line pertanyaan tersebut terus silih berganti dari satu siswa ke siswa lainnya, memang tidak bisa disangkal bahwa dari tahun ke tahun minat untuk kuliah dan mengenyam pendidikan di perguruan Tinggi bagi sebagian besar lulusan SMU masih menjadi idaman. Lazimnya masyarakat berpandangan bahwa dengan kuliah seseorang dapat menapai masa depan dengan gemilang prospek kerjapun makin luas sehingga taraf kehidupan bisa ditingkatkan, dengan kuliah derajat status sosial dimasyarakat akan meningkat dibanding dengan mereka yang tidak mengenyam pendidikan diperguruan tinggi ada sebagian lagi menganggap mereka yang tidak kuliah akan mengalami “madesu” ( masa depan suram ) tidak salah memang pandangan-pandangan masyarakat tersebut toh kenyataannya demikian manakala si pelaku bisa mengetrapkan ilmu-ilmu yang ia dapat dari bangku kuliah dengan kondisi riil masyarakat, pelaku paham betul dengan teori yang diperolehnya dengan tujuan ia kuliah.
Setengah Penganggur
Dulu, pengangguran identik dengan minimnya pendidikan. Namun kini, angka pengangguran pemuda terdidik mencapai 47,81 persen dari total angka pengangguran nasional karena selama ini, jamak pandangan masyarakat bahwa selembar ijazah pendidikan tinggi dan gelar kesarjanaan merupakan kunci utama untuk mendapatkan pekerjaan impian akan tetapi, seiring makin banyaknya sarjana yang diproduksi institusi pendidikan tinggi, selembar ijazah tak cukup lagi, gejala ijazah pendidikan tinggi bukan jaminan mengantarkan ke dunia kerja setidaknya tergambar dalam data yang dikumpulkan Badan Pusat Statistik Agustus 2014, di Indonesia ada 9,5 persen (688.660 orang) dari total penganggur yang merupakan alumni perguruan tinggi. Mereka memiliki ijazah diploma tiga atau sarjana, jumlah penganggur paling tinggi, 495.143 orang, merupakan lulusan universitas yang bergelar sarjana, secara kuantitas lulusan SI dari waktu ke waktu kian membengkak, sementara mereka yang langsung diterima bekerja sangat sedikit akibatnya banyak sarjana menganggur pascalulus. Artinya, secara kualitas lulusan perguruan tinggi belumlah menjamin sukses dapat bekerja Pertumbuhan pencetakan sarjana belum sebanding dengan lapangan kerja yang dihasilkan.
Daniel M.Rosyid, Penasihat Dewan Pendidikan Jawa Timur pada suatu acara talk show pendidikan di sebuah radio swasta Surabaya pernah memberikan penilaiannya bahwa kurikulum S1 terlalu menekankan pada pengajaran akademik. Hasil akhirnya membuat mental sarjana hanya mencari kerja. Mereka tidak memikirkan cara untuk menciptakan lapangan kerja sendiri, kurikulum pendidikan memang tidak selalu cocok dengan tuntutan dunia kerja. Namun faktor utama lebih pada banyaknya jurusan sosial yang dibuka di sebuah universitas. Adapun pendirian politeknik maupun institut rasionya dibanding universitas sangat kecil. Padahal lulusan politeknik maupun institut sangat dibutuhkan kalangan industri, ke depannya pemerintah diharapkan untuk meningkatkan jumlah pendidikan vokasional, cara tersebut dinilai sangat efektif sebab setidaknya bakal melahirkan lulusan yang memiliki kemampuan khusus sebelum terjun ke dunia kerja. “Kurangi sarjana akademik, dan perbanyak sarjana yang memiliki skill. Ini cara tercepat mengurangi jumlah pengangguran terdidik.
Disamping hal tersebut beberapa yang menyebabkan meningkatnya pengangguran terdidik antara lain, ketidakcocokkan antara karakteristik lulusan baru yang memasuki dunia kerja sisi penawaran tenaga kerja dan sisi permintaan tenaga kerja, keterbatasan daya serap tenaga kerja terdidik yang jumlahnya cukup besar sehingg memberi tekanan yang kuat terhadap kesempatan kerja di sektor formal yang jumlahnya relatif kecil, belum efisiennya fungsi pasar kerja, juga sebagai salah satu faktor penyebab tingginya angka pengangguran sarjana di Indonesia.
Kesejatian Pendidikan
Sejatinya pendidikan adalah pendidikan seumur hidup, belajar dan terus belajar agaknya sabda Agung dari Junjungan Umat yg berbunyi "Tuntutlah ilmu sejak dari buaian hingga liang lahat" sangat-sangat relevan dengan kondisi detik ini, jumbuh dengan ruh pendidikan yg digaungkan oleh tokoh pendidikan negeri ini, Ki Hadjar Dewantoro, beliau menyebutnya karakter sebagai budi pekerti, merupakan inti dari pendidikan, bahkan ada yang menyebutnya sebagai ruh pendidikan yang berproses seumur hidup. Bagi Ki Hadjar, pendidikan harus mampu menuntun tumbuhnya karakter dalam proses hidup seseorang agar menjadi manusia berpribadi yang beradab dan bersusila.
Kecerdasan memang diperlukan segenap anak didik, tetapi karakter lebih diperlukan. Kecerdasan tanpa diimbangi karakter justru akan menjerumuskan kehidupan anak didik itu sendiri. Dalam konteks ini substansi pendidikan karakter bersifat mutlak. Ki Hadjar menyatakan pendidikan karakter itu wajib diberikan kepada seorang siswa meskipun tidak harus menjadi mata pelajaran tersendiri. Ada empat tingkatan cara menyampaikan pendidikan karakter menurut Ki Hadjar, bisa dilakukan dengan cara syari’at, hakikat, tarikat, dan makrifat.
Tingkat syari’at cocok diberikan kepada anak yang sangat muda, dalam hal ini anak TK. Metodenya dengan membiasakan berperilaku baik menurut ukuran umum, misalnya mengucapkan salam ketika bertemu teman, memberikan hormat ketika bertemu guru, dan mencium tangan ketika berhadapan dengan orangtua. Tingkat hakikat diberikan kepada murid SD. Anak dibiasakan berperilaku baik menurut ukuran umum, dalam waktu bersamaan diberi pengertian mengapa harus berbuat demikian, di samping dibiasakan mengucapkan salam sewaktu bertemu teman, mereka juga diberi pengertian tentang pentingnya mengucap salam itu. Tingkat tarikat diberikan kepada siswa SMP. Siswa dibiasakan berperilaku baik, diberi pengertian pentingnya hal itu dilakukan, Misalnya bagaimana anak-anak tersebut berkesenian, berolah puisi, berolahraga, dan bersastraria sambil berolah budi. Contohnya adalah anak-anak SMP dilatih menari ”halus” sambil dijelaskan makna gerakan yang ada di dalamnya untuk menanamkan karakter. Tingkat makrifat cocok diberikan kepada siswa SMA. Siswa disentuh pemahaman dan kesadarannya sehingga berperilaku baik bukan sekadar kebiasaan, melainkan berkesadaran di lubuk hatinya untuk melakukan hal tersebut agar mengerti maksud berperilaku baik dan perilakunya tersebut dijalankan berdasarkan kesadaran diri. Dalam hal ini peran Perguruan Tinggi sebagai lembaga pendidikan diharapkan menunjukkan eksistensinya sebagai institusi selain mengupayakan mutu pendidikan yang lebih baik juga diharapkan bisa mengintegrasikan keseluruhan ( 4 metode tersebut ) menjadi satu kesatuan yang utuh juga membekali Mahasiswanya dengan berbagai ketrampilan yang sesuai dengan bakat dan minatnya, karena kedepan indonesia membutuhkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, yang mampu berperan dalam pembangunan bangsa dan negara dalam menghadapi tantangan global.
Wirausaha Salah Satu Alternatif
Tingginya tingkat lulusan perguruan tinggi menjadi pengangguran terdidik di level 5,8- 6,1 persen pada 2014 cukup realistis dengan asumsi pertumbuhan ekonomi dikisaran 6,8-7,2 persen dimana setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi dapat menciptakan lebih dari 350.000 kesempatan kerja atau sekitar 2,5 - 2,7 juta angkatan kerja baru pertahun maka perlu adanya upaya yang harus dilaksanakan untuk menampung sekian juta angkatan kerja baru tersebut agar tidak menambah banyaknya daftar pengangguran di Indonesia. Salah satunya dengan mengubah pola pikir mahasiswa yang selalu ingin menjadi pekerja/pegawai. Setelah lulus kuliah, kita tidak harus mencari pekerjaan melainkan bisa membuat lapangan pekerjaan sendiri melalui wirausaha. Hal ini lah yang dapat mengurangi adanya pengangguran terdidik.
Belajar dari Menteri Susi, Alm Bob Sadino ataupun Andri Wongso, fenomena menteri susi, almarhum bob sadino, andri wongso dan sederet pesohor nasional yang menapaki sukses tanpa memperdulikan pendidikan, mereka telah mendobrak paradigma pendidikan bahwa kesuksesan tidak harus diraih melalui bangku perkuliahan, kesuksesan tidak bergantung dari selembar ijasah, fenomena ini sekaligus membalik feodalisme berfikir bahwa sukses bergantung dari usaha, kerja keras dan berdo’a, mereka membuktikan bahwa belajar tidak ada batasnya, mereka percaya belajar tidak terbatas ruang & waktu, serta tempat. Keberhasilan mereka tidak terlepas dari ketidaktahuan akan arah pendidikannya, karena itu mereka mampu bertindak dan terjun langsung saat melaukan usaha, ini lah yang membuat mereka berhasil dan sukses, keberhasilan yang dicapainya berbanding terbalik dengan kelaziman yang ada, yaitu mestinya usaha dimulai dari ilmu dan pendidikan lalu praktikkan kemudian trampil dan berprofesiaonal, akan tetapi mereka malah sebaliknya. pemikiran demi pemikiran yang mereka lakukan menginspirasi kita semua, bahwa jenjang pendidikan tidak menentukan keberhasilan seseorang, justru ketrampilan dan Keuletan yang membuat seseorang berhasil dan sukses dalam berkarier.
(*) Goresan Kecil Pojok Ruang BK , 14 Februari 2015.

Tidak ada komentar: